Laporan The Learning Curve (2012) semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara terbelakang dalam dunia pendidikan!
Hasil perbandingan
antarnegara yang mengikuti uji internasional seperti PISA (matematika,
sains, dan membaca), TIMSS (untuk matematika), dan PIRLS (untuk
kemampuan baca) memosisikan Indonesia sebagai juru kunci dengan Z-Score
-2,03 di bawah standar deviasi.
Laporan internasional
itu mestinya membuat kita becermin. Dengan skor sebagai juru kunci
dalam kualitas pendidikan internasional, sulit bagi bangsa ini bisa
bersaing di masa depan dengan bangsa lain jika hal-hal fundamental
tidak dibenahi.
Lima Pelajaran
Laporan The Learning Curve memberikan lima pelajaran bagi pengambil kebijakan pendidikan jika sebuah negara ingin sukses.
Pertama, dalam dunia
pendidikan tak berlaku panasea. Tidak ada obat mujarab untuk
menyembuhkan seluruh penyakit yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Riset The Learning Curve menunjukkan bahwa solusi simplisistis
bagi dunia pendidikan tak akan menyelesaikan kompleksitas persoalan.
Anggaran negara yang besar, biaya ujian nasional, tingginya uang
sekolah yang ditarik dari orangtua yang memasukkan anaknya di Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional tidak menjamin kualitas pendidikan
meningkat.
Lalu apa yang
dibutuhkan? Tak lain adalah sistem pendidikan jangka panjang, yang
fokus pada perbaikan kinerja pendidikan di setiap dimensi. Inilah yang
disebut dengan visi pendidikan. Kegalauan dunia pendidikan saat ini
terjadi karena politisasi pendidikan, pragmatisme demi kebutuhan
sesaat, serta lemahnya analisis fundamental yang mengarahkan prioritas
kebijakan pendidikan kita saat ini.
Kedua, hormati guru.
Guru yang baik dan berkualitas memang syarat bagi peningkatan kualitas
pendidikan yang baik. Untuk menjaga dan mengembangkan mereka, kita
tidak harus berkutat pada diskusi mengenai gaji yang tinggi.
Guru perlu dipandang
sebagai individu profesional yang bermartabat. Jangan jadikan mereka
seperti salah satu mesin. Kebijakan pemerintah untuk menghargai guru
berdasarkan jam mengajar saja tak adil. Guru yang mengajar 24 jam per
minggu, faktanya ia mengajar 92 jam per bulan! Istilahnya, mengajar
sebulan dibayar untuk seminggu!
Ketiga, kultur itu bisa
berubah. Asumsi-asumsi kultural dan nilai-nilai yang melingkupi dunia
pendidikan bisa jadi faktor pendukung ataupun penghambat. Kultur
memiliki kekuatan mengatasi sistem pendidikan sebaik dan sekokoh apa
pun. Ini terjadi karena kultur merupakan apa yang sesungguhnya dihidupi
oleh pelaku dalam dunia pendidikan sendiri, baik itu pemimpin sekolah,
kepala dinas, orangtua, guru, siswa, maupun masyarakat.
Kultur ketakadilan telah
mengeroposkan dunia pendidikan kita. Praktik jual beli nilai, sistem
katrol nilai, maraknya ketidakjujuran melalui kegiatan mencontek, dan
tak adanya akuntabilitas keuangan ataupun manajerial dalam dunia
pendidikan membuat kita berkutat dalam posisi juru kunci di antara
bangsa-bangsa dalam persaingan pendidikan.
Kultur ini bisa berubah.
Sayangnya, gegap gempita gerakan pendidikan karakter yang dikembangkan
masih berkutat pada masalah teknis dan administratif, terbatas pada
pengajaran klasikal daripada perbaikan dimensi kultural dalam lingkup
pendidikan.
Keempat, orangtua
bukanlah musuh ataupun penyelamat dunia pendidikan. Orangtua
menginginkan anak mereka memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Tekanan dan tuntutan orang tak bisa dipandang sebagai rasa permusuhan,
tetapi perlu dipandang sebagai tanda bahwa ada yang kurang lengkap
dalam pendidikan kita. Meski demikian, tuntutan orangtua tidak harus
selalu dipandang sebagai satu-satunya obat manjur yang harus dituruti.
Yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang mengajak orangtua bekerja
sama (bukan hanya dibutuhkan saat butuh uang) dengan memberikan
informasi, serta memfasilitasi keterlibatan mereka demi perbaikan dunia
pendidikan.
Kelima, didiklah
anak-anak untuk masa depan, bukan untuk masa sekarang saja. Ini berarti
dunia pendidikan mesti melihat jauh ke depan dan mempersiapkan mereka
memasuki tantangan yang mengadang ke depan.
Harus Berani Memulai
Tidak ada yang salah
membekali anak-anak kita dengan bahasa asing. Juga tak ada yang salah
melengkapi sekolah dengan sarana dan prasarana yang baik, dengan
guru-guru berkualitas.
Masyarakat semestinya
menuntut pemerintah bekerja lebih keras dan giat serta memberi mereka
pekerjaan yang tidak mudah, dengan meminta menyediakan sarana sekolah
yang baik sekelas sekolah-sekolah berlabel internasional. Juga
menyediakan guru-guru profesional, seperti yang sudah mulai dilakukan di
sekolah-sekolah internasional. Semua itu gratis bagi seluruh rakyat
Indonesia karena setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang
layak dan negara harus menyediakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar